Pada 19 Mei 2016, Rasyid Ghannouchi (الشيخ راشد الغنوشي), pemimpin partai Ennahda Tunisia, mengumumkan bahwa partai Ennahda akan menjauh dari label ‘islam politik.’ Dalam sebuah wawancara dengan Le Monde, dia menyebut bahwa “Kami muslim demokrat yang tak lagi mengklaim islam politik.” Ghannouchi menyebut bahwa pergeseran ini merefleksikan kesuksesan transisi demokrasi di Tunisia, tapi ia juga menyebut pentingnya menjauhkan partai dari kelompok-kelompok ekstrimis.
Pada 20 Mei, Ennahda menggelar konferensi nasional partai yang kesepuluh di Rades, Tunisia. Dalam laman facebook resminya, partai menyadari bahwa konferensi ini “digelar dalam konteks evolusi bagi Partai Ennahda, dimana ia memperbaharui visi dan programnya untuk memperkuat identitasnya sebagai sebuah partai politik yang demokratis dan terbuka berdasarkan nilai-nilai islam.”
Ennahda muncul sebagai kekuatan dalam politik Tunisia setelah musim semi arab (Arab Spring) pada 2011, memenangkan suara terbanyak pada pemilu 2011. Saat Tunisia kembali menggelar pemilu pada 2014, Ennahda berada di nomor dua setelah partai sekuler Nidaa Tounes. Tapi pada januari 2016, Ennahda kembali menjadi partai terbesar di parlemen setelah beberapa anggota Nidaa Tounes mengundurkan diri karena perpecahan internal.
Berikut ini adalah transkrip dari wawancara Ghannouchi dengan Le Monde dan kutipan-kutipan penting dari pidatonya dalam konferensi partai ke-10.
“Ennahda adalah partai politik yang sipil dan demokrasi berdasarkan nilai-nilai peradaban islam dan modern. Dasar ini merupakan salah satu yang ditemukan dalam konstitusi 2014 yang merefleksikan penggabungan ini, pengertian ganda dari modernitas dan identitas. Kami bergerak maju dari sebuah partai yang khusus berspesialisasi pada aktivitas politik.”
“Kami butuh menekankan perbedaan antara aktivitas politik (siyasi) dan agama (da'awi). Tempat untuk aktivitas politik bukan di masjid. Masjid adalah tempat bagi orang untuk berkumpul bersama, jadi tak ada alasan untuk menggunakannya sebagai sarana beraktivitas sebuah partai tertentu. Kami ingin agama menjadi sumber persatuan, bukan perpecahan bagi masyarakat Tunisia. Karena inilah, kami tak ingin seorang imam untuk memimpin, atau bahkan menjadi anggota dari partai apapun. Kami ingin sebuah partai yang membicarakan masalah kehidupan sehari-hari, mengenai kehidupan para keluarga dan individu, dan bukan partai yang yang berbicara pada mereka mengenai hari akhir, surga dan sebagainya. Kami ingin aktivitas keagamaan yang terpisah dari aktivitas politik. Ini bagus bagi politik karena tak akan ada lagi tuduhan memanipulasi agama demi mencapai tujuan politik. Dan juga sangat bagus bagi kami agar agama tak menjadi tawanan bagi politik, dimanipulasi oleh politik.”
“Kami percaya bahwa islam politik, meski kami memiliki keberatan atas penggunaan istilah (yang berasal dari) barat ini, adalah reaksi atas dua hal. Yang pertama adalah terhadap kediktatoran. Lalu terhadap ekstrimisme sekuler. Revolusi 2011 mengakhiri tak hanya kediktatoran, tapi juga ekstrimisme sekuler. Tunisia sekarang hidup didalam demokrasi. Konstitusi 2014 menerapkan batas yang sama menghadapi ekstrimisme agama maupun sekuler. Tunisia sekarang hidup didalam demokrasi. Tak ada lagi pembenaran atas islam politik di Tunisia. Lebih lanjut, konsep islam politik telah dihancurkan oleh ekstrimisme yang digunakan oleh al-Qaeda dan Daesh (ISIS). Karena itu butuh ditunjukkan secara jelas perbedaan antara demokrasi muslim yang kami klaim dan islam jihadis ekstrimis yang kami ingin jauhi.”
“Kami meninggalkan islam politik untuk memasuki demokrasi islam. Kami adalah demokrat muslim yang tak lagi mengklaim islam politik.”
“Kami menyadari bahwa demokrasi didalam periode transisi memiliki mekanismenya sendiri dari mereka yang bukan demokrasi dalam periode stabilitas. Dan kami membayar mahal atas penemuan yang terlambat ini. Demokrasi dalam periode stabilitas hanya butuh mayoritas sederhana, sementara demokrasi dalam transisi membutuhkan mayoritas sebesar mungkin, lebih besar dari mayoritas sederhana (simple majority). Mayoritas ini menanggung polarisasi dan perpecahan ideologis dengan penuh kesulitan”.
“Kami belajar untuk mengelola kepentingan yang berbeda, khususnya dalam sebuah Negara seperti Negara kami yang dalam waktu lama hanya mengenal monopoli dalam pengambilan keputusan. Karena itu kami butuh belajar bagaimana untuk saling berdampingan, untuk hidup dengan perbedaan."
“Mereka yang berfokus pada pertanyaan pemisahan antara politik dan agama harus menempatkan ini dalam konteks evolusi gerakan ini dari tahun 70an hingga hari ini.”
“Ini merupakan puncak dari evolusi bersejarah dimana politik dan agama dipisahkan dalam prakteknya dalam gerakan kami.”
“Kami ingin menjaga agama jauh dari pertentangan politik, dan kami meminta masjid untuk netral, jauh dari perselisihan politik dan instrumentalisasi partisan.”
Sumber: wilsoncenter.org
***
Pidato Rasyid Ghannouchi di Muktamar ke-10 An-Nahda, 20 Mei 2016