Oleh: A. Kholili Hasib*
(Peneliti InPAS)
Baru-baru ini Maarif Institute merilis hasil riset tentang Indeks Kota Islami (IKI). Hasilnya mengungkap tiga kota paling Islami adalah; Yogyakarta, Bandung dan Denpasar. Yang sangat ganjil, menempatkan Kota Denpasar — kota yang mayoritas penduduknya beragama Hindu, bukan Islam, sebagai salah satu kota Islami.
Sebelumnya, Direktur Riset Maarif Institute Ahmad Imam Mujadid Rais saat merilis hasil ini di Hotel Alia Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (17/05/2016) mengatakan, kalaupun Denpasar – Bali yang penduduknya banyak Hindu bisa disebut ISLAMI karena Rais konteks Islam dalam penelitian ini merujuk pada kota dan bukan perilaku masyarakatnya. Dia menekankan, pemahaman Islami ini bukan berarti harus orang Islam.
Bagamaina logikanya, Hindu tapi Islami? Ternyata indikator yang digunakan belum betul-betul disebut ‘Islami’. Direktur Riset Maarif Institute Ahmad Imam Mujadid Rais menerangkan, ada tiga tolak ukur yang digunakan dalam penelitian ini. Yaitu aman, sejahtera, dan bahagia.
Kota aman diukur dari indikator kebebasan beragama dan berkeyakinan, perlindungan hukum, kepemimpinan, pemenuhan hak politik perempuan, hak anak, dan hak difabel. Selanjutnya indikator sejahtera diukur dari pendidikan, pekerjaan, pendapatan dan kesehatan. Semantara tolok ukur bahagia diukur dari indikator berbagi dan kesetiakawanan serta harmoni dengan alam.
Kategori aman, sejahtera dan bahagia adalah kategori umum, padahal riset tersebut tentang IKI (Indeks Kota Islami) yang harusnya spesifik dengan tolak ukur ISLAM.
Bukan Ranting
Pertama-tama, yang harus diperjelas adalah indikator. Masalah riset model seperti ini bukan pertama kali Maarif Institute yang melakukan. Sudah banyak riset dengan indikator yang sama baik dari luar negeri maupun dalam negeri. Rata-rata kategori yang digunakan LSM tentang indikator Islami cukup ngawur.
Atas dasar apa sesuatu itu disebut Islami? Apa syaratnya sesuatu itu Islami dan non-Islami? Jika indikator itu kategori “Islami”, maka grand theory riset itu tentu saja harus merujuk kepada diktum-diktrum pokok Islam.
Apa saja diktum-diktum pokok yang menjadi syarat sesuatu itu Islami? Aman, sejahtera dan bahagia sudah banyak dimaklumi merupakan bagian dari ajaran Islam. Cukup banyak dalil dari sumber-sumber Islam tentang pentingnya hidup aman, toleransi, dan bahagia (sa’adah).
Namun, harap dipahami dengan betul, bahwa dalam agama Islam ada bagian pondasi dan ada bagian ranting. Hidup aman, sejahtera dan bahagia merupakan ranting dari pondasi Islami yang dibangun kokoh. Seperti rumah. Jendela, pintu, kamar dan lain-lain adalah ranting. Pondasinya adalah tiang dan batu-batu besar yang ditanam di tanah.
Semua ranting berdiri di atas pondasi yang kuat. Ada ranting tapi tidak ada pondasi, pasti rontok. Ada pintu, ada jendela, tetapi tidak punya tiang. Pasti rumah itu roboh. Dan tidak akan terbentuk rumah lagi. Sebuah mobil yang ada roda bagus, pintu mobil, kaca mengkilap, dan rangka tetapi tidak ada mesin. Pasti mobil itu tidak bisa jalan. Orang akan menyebutnya ‘mobil-mobilan’.
Indikator Islam sudah diterangkan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallah. Pondasinya disebut Rukun Islam. Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallah bersabda: Islam dibangun atas lima pekara. (1) Persaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad Rasul Allah, (2) mendirikan shalat, (3) mengeluarkan zakat, (4) melaksanakan ibadah haji, dan (5) berpuasa Ramadhan”. [HR Bukhari dan Muslim].
Apa saja jika ingin dinisbatkan Islami, maka harus berdasarkan pondasi ini. Seseorang yang disebut beperilaku Islami, maka asasnya harus dengan pondasi rukun Islam tersebut.
Dalam hadis nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallah di atas, Islam digambarkan sebagai sebuah bangunan. Adapun tiang-tiang bangunan tersebut berupa kelima hal tersebut. Jadi, bangunan tidak akan kuat tanpa tiang-tiangnya. Sedangkan ajaran-ajaran Islam lainnya berfungsi sebagai penyempurna bangunan.
Jika salah satu dari ajaran-ajaran tersebut hilang dari bangunan Islam, maka bangunan itu berkurang, namun tetap bisa berdiri dan tidak ambruk, meskipun berkurangnya salah satu dari penyempurnanya. Ini berbeda jika kelima tiang tersebut ambruk, maka Islam akan runtuh disebabkan tidak adanya kelima tiang penyangga tersebut.
Islam akan runtuh dengan hilangnya dua kalimat syahadat. Yang dimaksud dengan dua kalimat syahadat ialah, beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Semua etika, akhlak atau adab Islam ‘digantung’kan dengan lima pondasi tersebut. Dalam beberapa pernyataan Nabi Saw, akhlak sosial dihubung-erat dengan iman kepada Allah dan Hari Akhir.
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia memulyakan tetangganya.” (HR. Bukhari-Muslim). Allah Swt berfirman: Allah Subhanahu Wata’ala berfirman: “Dan sembahlah Allah serta jangan menyekutukan sesuatu denganNya. Juga berbuat baiklah kepada kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat, tetangga yang jauh, teman seperjalanan, sepekerjaan, sesekolah dan lain-lain – orang yang dalam perjalanan dan – lalu kehabisan bekal -hamba sahaya yang menjadi milik tangan kananmu.” (QS. al-Nisa’:36).
Dalam ayat itu, setelah larangan untuk menyekutukan-Nya, Allah Subhanahu Wata’ala memerintahkan berbuat baik kepada tetangga, orang tua, kerabat dan kepada manusia lainnya. Pengaitan ini bukan tanpa maksud atau tujuan.
Salah satu karateristik Islam adalah menjaga adab kepada Allah Subhanahu Wata’ala sekaligus adab kepada sesama manusia. Adab kepada-Nya dengan percaya dan beribadah kepada-Nya. Sedang adab kepada manusia adalah memenuhi hak-hak yang mesti diberikan kepada mereka. Dua-duanya adalah kewajiban yang sifatnya hierarkis.
Berbuat baik kepada manusia, akan tetapi meninggalkan shalat misalnya bukan karakter seorang Muslim. Begitu pula, menyembah kepada Allah akan tetapi berbuat buruk kepada tetangga, adalah bukan karakter muslim bertauhid. Dua perilaku ini tidak bisa disebut ISLAMI.
Artinya, seseorang yang bertauhid, mesti berbuat baik kepada manusia. Jika pun akhlaknya buruk, maka ia belum menjadi muslim bertahid yang sempurna. Sebaliknya, berbuat baik kepada sesama juga mesti didasari dengan tauhid, keimanan, bukan yang lainnya. Inilah yang disebut berperilaku ISLAMI. Seharusnya, hal seperti itu menjadi pertimbangan dasar untuk dijadikan indikator utama.
Kota atau masyarakat yang Islami adalah kota atau masyarakat yang mendasarkan tata cara hidupnya berdasarkan keimanan kepada Allah, Rasul-Nya dan Hari Akhir.
Dengan berdasarkan pada indikator yang semestinya seperti di atas, maka tidak akan mungkin seseorang itu disebut “Hindu-Islami”, “Kristen-Islami”. Seorang Hindu tidak percaya kepada Allah Yang Maha Esa mustahil disebut Islami. Seorang Kristen yang tidak percaya risalah Nabi Muhammad Saw tidak masuk akal disebut Islami.
Hindui-Islami atau Kristiani-Islami adalah dua hal yang bertolak belakang. Jadi, tidak mungkin masyarakat yang Kristen pada saat sama Islami. Jika masyarkat Non-Muslim itu mengamalkan sebagian kecil ranting-ranting Islam pun tidak serta merta disebut Islami. Sebab, pondasinya saja tidak Islam. Sesuatu itu tegak tergantung pondasi dan akar. Bukan pada ranting dan cabang.
Dual hal yang bertolak belakang konsepsinya tidak bisa salah satunya menjadi nisbat kepada yang lainnya. Sebagaimana tidak mungkin kita mengatakan segitiga yang bulat atau bola yang trapesium. Dan lain sebagainya.
Oleh sebab itu, dalam penelitian Maarif Institut yang menempatkan Denpasar yang mayoritas Hindu sebagai Islami, merupakan kesalahan yang sangat fatal dalam metodologi.
Belum lagi jika kita lihat tiga wilayah tersebut dari perspektif yang lebih komprehensif. Akan terlihat kesalahan metodologis Maarif Institut tersebut. Yogyakarta menduduki tempat kelima sebagai kota dengan pengguna Narkoba terbesar di Indonesia. Dalam catatan BNN (Badan Narkotika Nasional), 2,37 pengguna Narkoba ada di kota Yogyakarta. Sementara Bali menempati urutan ke-8 dengan angka 2,22 persen. Artinya, dua wilayah ini masuk 10 besar di antara propinsi di Indonesia yang penduduknya mengkonsumsi Narkoba (sumber: metronews.com 9 Maret 2015).
Sedangkan, dari segi maksiat seks, kota Bandung dan Yogyakarta menempati urutan tiga dan empat sebagai kota dengan prostitusi terbesar. Sedangkan Bali menempati urutan urutan ketujuh. Meski urutan ketujuh, tetapi Bali dikenal dengan kehidupan hedonism yang banyak dibawa oleh turis asing Eropa.
Belum lagi, indikasi kemaksiatan lainnya. Bagaiaman mungkin daerah yang banyak maksiatnya disebut Islami? Lantas Islami dari mana? Maka riset tersebut tidak metodologis, dalam arti gagal menarasikan indikator kota Islami.
Indikasi sholeh adalah ada
Prof.Syed Naquib al-Attas, menjelaskan indikator pertama untuk menilai seorang itu sholeh atau tidak adalah adabnya kepada Allah. Orang yang tidak percaya Tuhan, atau atheis adalah orang yang tidak beradab kepada Tuhannya, alias biadab.
Meskipun si atheis atau si kafir itu orang berdisiplin, jujur dan suka menolong orang lain tetap disebut biadab, bukan beradab. Sebab, amalnya batal atau tidak sah di depan Allah Subhanahu Wata’ala.
Seperti firman Allah: “Dan orang-orang kafir amal-amalnya mereka laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatangi ‘air’ itu, maka dia tidak mendapatinya sesuatu apapun.” (QS. Al-Nur: 39).
Karenanya, karakter masyarakat non-Muslim yang kita anggap berbudaya disiplin, jujur, sejahtera itu sesungguhnya hanya karakter palsu, laksana fatamorgana.
Makanya, mereka tidak dapat disebut masyarakat yang islami. Yang islami apanya? Percaya kepada Allah saja tidak, shalat tidak, bertauhid-pun juga tidak.
*Sumber: Hidayatullah