Pasca-Munaslub Partai Golkar, komposisi politik di pemerintahan dan parlemen bergeser. Kini, kekuatan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla menjadi dominan bahkan berlebih. Surplus dukungan politik ini seperti pisau bermata dua. Semua harus mewaspadainya.
Salah satu keputusan penting Munaslub partai Golkar di antaranya dukungan Partai Golkar ke pemerintahan Jokowi. Dukungan ini tentu memiliki makna turunan yang panjang. Salah satunya bisa dimaknai dengan masuknya kader Partai Golkar di struktur pemerintahan hingga didukungnya kebijakan oleh parlemen yang tentunya akan didominasi kekuatan pendukung Jokowi.
Secara politis, dukungan Partai Golkar ini tentu menambah kekuatan politik pemerintahan Jokowi khususnya dukungan dari parlemen. Sejumlah agenda pemerintahan yang membutuhkan konfirmasi dan persetujuan parlemen, di atas kertas bakal mulus-mulus saja. Tentu, dukungan ini tidaklah gratis sebagaimana adagium populer tidak ada makan siang gratis (no free lunch) dalam politik.
Sejumlah agenda penting di Parlemen seperti pembahasan RUU Tax Amnesty diprediksikan bakal berjalan mulus. RUU ini menjadi salah satu agenda penting bagi pemerintahan Jokowi untuk menggenjot sisi penerimaan negara melalui pengampunan pajak para wajib pajak.
Agenda lainnya seperti pembahasan RUU Paket Politik yang besar kemungkinan akan dibahas 2017 mendatang juga diprediksikan bakal berjalan landai. Dapat dikatakan tidak ada pertentangan agenda politik antara pemerintah dan parlemen yang mayoritas pro pemerintahan Jokowi.
Namun di sisi lain, menumpuknya dukungan politik parlemen terhadap pemerintahan Jokowi juga menyisakan potensi abuse of power baik bagi pemerintah maupun parlemen. Fungsi kontrol parlemen sebagai salah satu fungsi konstitusional di atas kertas sulit berjalan optimal. Komunikasi politik bakal berjalan linier dan searah. Dialektika politik parlemen dan pemerintah nyaris tidak muncul. Terlebih dengan karaketeristik figur Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto yang memiliki ciri khas harmoni dan menghindari konfrontasi.
Dengan kata lain, bandul politik tidak akan mengayun kencang. Bilapun ada kontrol dan pengawasan akan dikemas sedemikan rupa, seperti menggunakan instrumen rapat konsultasi DPR dan Presiden dan sejenisnya.
Tidak adanya kontrol yang kuat dari parlemen tentu akan menyisakan masalah serius bagi pemerintah. Kekuatan pemerintah yang absolut tentu akan berpotensi pada praktik koruptif baik dari sisi kebijakan maupun anggaran. Apalagi, bila lembaga penegak hukumnya setali tiga uang, potensi tersebut kian besar saja.
Praktik kongkalingkong kebijakan dan anggaran, komunikasi di bawah meja dan di area remang-remang akan menciptakan malpratik politik yang menjadi ancaman serius pemerintahan ini. Format kekuatan politik yang menumpuk di sisi Jokowi ini harus diwaspadai secara serius oleh semua stakeholder baik di pemerintahan maupun partai politik baik yang pro pemerintahan maupun yang berposisi oposisi.
Meski, kekhawatiran tersebut dapat ditepis dengan peran publik melalui saluran media massa dan media sosial yang diakui dalam bingkai kebebasan berpendapat. Meski, hal tersebut juga belakangan mulai 'diamputasi' dengan terbitnya surat edaran (SE) Polri tentang ujaran kebencian yang sebenarnya isinya biasa saja.
Tentu kita berharap tiga tahun sisa pemerintahan Jokowi ini berjalan mulus dan terbebas dari praktik koruptif yang menjadi musuh reformasi. Presiden dalam kapasitasnya sebagai kepala negara dan pemerintahan harus menjadi panglima terdepan untuk menjadi komandan pemerintahan yang baik dan bersih. Surplus kekuatan politik yang mendukung Presiden harus diarahkan pada niat dan tujuan yang baik, bukan sebaliknya. (R. Ferdinan Andi R)