Jakarta mencekam selama tiga hari, 13-15 Mei 1998. Kerusuhan pecah, bentrok mahasiswa dan aparat tak terhindarkan. Korban berjatuhan.
Ada beberapa titik di ibu kota yang dipercaya sebagai pusat keramaian pada 18 tahun lalu.
Menurut temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk pengganti Soeharto, Presiden BJ Habibie saat itu, titik kerusuhan awal ada di Jakarta Barat, tepatnya di Universitas Trisakti pada 13 Mei 1998, ketika aparat menembakkan peluru dan menewaskan 4 mahasiswa.
Keesokan harinya terjadi penjarahan dan pengrusakan terhadap pusat perbelanjaan Glodok di Jakarta Barat.
Di pemukiman warga keturunan Tionghoa, selain penjarahan juga terjadi pemerkosaan terhadap kaum perempuan.
Simak peta di bawah ini untuk mengetahui lokasi-lokasi penting selama terjadinya kerusuhan Mei 1998 silam seperti dilansir RapplerIndonesia:
Universitas Indonesia Salemba
Kampus UI di Salemba merupakan salah satu titik awal pergerakan mahasiswa demonstran di Jakarta. Dari sini, mahasiswa kemudian bergerak ke gedung DPR/MPR RI di Senayan.
Monumen dan Musem Trisakti
Di lokasi ini, 4 mahasiswa Universitas Trisakti mati tertembak. Mereka adalah Elang Mulia Lesmana (1978-1998), Heri Hertanto (1977-1998), Hafidin Royan (1976-1998), dan Hendriawan Sie (1975-1998).
Keempatnya tewas tertembak di dalam kampus, terkena peluru tajam di tempat-tempat vital seperti kepala, tenggorokan, dan dada.
Awalnya, mereka hendak melakukan aksi damai dari kampus Trisakti menuju Gedung DPR/MPR. Perjalanan mereka dihadang blokade polisi dan militer. Beberapa mahasiswa mencoba bernegosiasi.
Pada sore hari, mahasiswa sudah bergerak mundur. Namun, aparat malah merangsek maju dan bahkan mulai menembakkan peluru ke kerumunan mahasiswa. Barisan kocar-kacir. Sebagian besar kembali ke gedung kampus untuk berlindung. Sementara hujan peluru tetap berlangsung.
Pada malam hari, baru diketahui ada 4 orang yang tewas. Meski aparat membantah menggunakan peluru tajam saat menembak, hasil otopsi menunjukkan keempatnya tewas lantaran peluru tajam.
Gedung DPR/MPR RI
Tujuan akhir sekaligus puncak gerakan yang akhirnya melengserkan Suharto. Pada saat presiden yang menjabat selama 32 tahun ini mengundurkan diri, hanya tempat inilah yang diduduki mahasiswa. Sisanya penuh oleh aparat. Terutama di Istana Negara, yang juga lengkap dengan kendaraan tempur.
Mahasiswa sendiri menduduki gedung berbentuk seperti kura-kura itu sejak 18 Mei 1998. Saat itu, beredar isu kalau aparat akan menggeruduk, namun ternyata para mahasiswa tetap aman bermukim di sana.
Akhirnya, pada 21 Mei 1998, ketika Soeharto memutuskan mundur, gedung itupun bergetar oleh sorak sorai dan tepuk tangan ribuan mahasiswa.
Glodok
Salah satu titik kerusuhan dan kekerasan, kawasan Glodok merupakan yang terparah karena merupakan pusat dagang kaum Tionghoa. Bangunan yang hancur antara lain Glodok Plaza, Pasar Jaya, dan City Hall. Massa yang berkumpul semakian banyak dan terus melemparkan barang apa saja yang bisa mereka temui.
Aparat mencoba untuk membubarkan massa dengan tembakan peringatan namun nihil. Hingga tembakan diarahkan ke kerumunan barulah mereka kocar kacir.
Pondok Rangon
Kuburan massal para korban Mei 1998. Di sini juga dibangun memorial Mei '98 supaya rakyat Indonesia tak melupakan kisah berdarah ini.
Meski hanya ada 113 makam, namun jumlah jenazah yang dikuburkan bisa lebih dari itu. Sebab, dalam satu peti mati ada beberapa jenazah korban yang dikuburkan bersama.
Tim Relawan untuk Kemanusiaan melaporkan korban peristiwa ini mencapai 1.217 jiwa, sementara ada 91 luka lainnya dan 31 masih hilang.
Kantor Komnas Perempuan
Lembaga ini berfungsi untuk mengusut kasus kekerasan seksual pada perempuan selama tragedi Mei 1998. Pada periode kerusuhan akibat krisis moneter, segerombolan massa melakukan penjarahan dan kekerasan. Kaum keturunan Tionghoa menjadi sasaran amuk mereka.
Yang lelaki dibunuh, sementara perempuannya diperkosa. Tak jarang yang juga kehilangan nyawanya.
Kebanyakan penyintas memilih lari keluar Indonesia dan hidup dirundung trauma. Hanya sedikit yang berani membuka mulut untuk mengungkap kisah pilu dan kenangan mengerikannya ini.
Meski demikian, negara masih belum mau mengakui tindak pemerkosaan ini. Para pelakunya tidak pernah diadili.