Oleh: H. Setiya
Fraksi PKS Bantul
Hampir dua tahun menjadi anggota dewan (AD) dari PKS di sebuah kabupaten, saya pribadi masih teramat galau. Terutama benarkah apa yang sudah saya jalankan selama ini, sudahkah itu bersesuaian dengan amanah yang diberikan kepada saya?
Dominasi kegalauan saya itu dikarenakan sebuah kesadaran bahwa kursi yang saya duduki ini adalah hasil kerja bersama. Meski perolehan suara pribadi saya 30% lebih dari perolehan partai, namun saya yakini sepenuhnya bahwa capaian ini adalah capaian kolektif. Tidak saja dalam perspektif dunia, saya bertanggungjawab, namun tentu hisab Allah kelak akan lebih teliti.
Mencoba memenuhi apa yang menjadi keinginan kader dan masyarakat pemilih, dengan memperhatikan potensi yang saya miliki dengan posisi sebagai AD ini saya dihadapkan pada dua pilihan.
Pertama adalah memenuhi keinginan mayoritas kader dan konstituen bahwa AD itu layaknya adalah pemberi. Bagaikan sinterklas yang memiliki banyak hal untuk diberikan secara langsung kepada masyarakat.
Saya bahkan menemui masyarakat yang tidak bisa membedakan antar anggota DPRD level kabupaten seperti saya ini dengan anggota DPR RI. Mereka pikir fasilitas dan kewenangannya sama. Pokoknya kalau AD ya apa-apa bisa (memberi).
Sisi yang kedua adalah pemahaman saya (setidaknya dengan proses pembelajaran langsung selama hampir dua tahun ini) bahwa ada hal yang lebih strategis daripada sekedar "memberi" secara langsung. Yakni kita ajak secara aktif mereka untuk makin dekat dan terlibat dengan sumberdaya yang sangat besar bernama negara. Ya kalau di daerah bernama pemerintah daerah.
Kalau kita bandingkan secara sederhana saja dan yang paling mudah adalah urusan keuangan. Kalau mereka menginginkan saya senantiasa memberi, berarti merogoh saku sendiri. Sementara kalau mereka mau terlibat, maka potensinya adalah nilai APBD.
Saku AD periode ini sudah semakin tipis. Konon begitu, karena saya belum pernah merasakan periode sebelumnya. Biaya pemenangan pemilu yang amat besar tahun 2014 kemarin ditambah dengan kontribusi bulanan ke partai, membuat alokasi yang bisa dibawa ke rumah sudah sangat minim. Terkadang saya tidak tega dengan keluarga.
Nah kalau itu yang dituntut dari kader adalah pemberian langsung AD, maka dari 62 bulan masa amanah kita bisa hitung berapa yang bisa dikontribusikan seorang AD. Kalau dia bisa sisihkan 1 juta, ya berarti hanya 62 juta selama masa amanahnya.
Berbeda kalau kita membangun kemampuan bersama untuk mengoptimalkan dana pembangunan secara kolektif. Ada nilai milyaran rupiah berupa program kegiatan yang bisa kita desain bersama untuk bersinergi dengan program dakwah dan agenda khidmat untuk rakyat.
Pilihan yang kedua ini, bukan kerja instan. Dan harus dilakukan secara kolektif. Peran AD sendiri lebih kepada jembatan atau pintu masuk. Sekelompok kader yang dikelola struktur bisa menjadi semacam "pemerintah bayangan" untuk bersinergi dengan pemda.
Ambil contoh kelompok perempuan PKS dengan issue keluarga dan anak. Mereka bisa intens memikirkan dan merumuskan program kegiatan yang bisa dititipkan dalam agenda pembangunan daerah. Kemudian tugas AD sesuai dengan komisinya untuk menjembatani ini dengan SKPD yang sesuai. Mulai dari tahapan konsepsi hingga operaional bisa dikawal, tentu kesemua proses harus dilakukan dengan profesional dan sesuai kaidah serta mekanisme penyusunan program pembangunan sebagaimana mestinya. Kalau harus masuk melalui mekanisme musrenbang, ya harus dilakukan. Dan seterusnya.
Demikian dengan issue dan kelompok-kelompok lain dalam jamaah dakwah ini, bisa terus menerus aktif mengisi narasi pembangunan daerah.
Kalau ini yang terjadi maka akan ada banyak program kegiatan pembangunan daerah yang dibiayai APBD yang nilai dakwah dan khidmatnya untuk rakyat makin meningkat. Dan bila dikurs, bisa milyaran rupiah dana yang kita berikan kepada masyarakat.
Di sisi lain, proses ini secara bertahap akan membuat kita secar kolektif akan makin dekat dan siap mengelola pemerintahan. Proses regenerasi juga akan berjalan dengan sehat, karena tidak saja AD yang menjabat yang memiliki kapasitas itu.
Saya semakin mantap dengan pemikiran tersebut, saat mendengarkan arahan presiden partai Muhammad Shohibul Iman, Phd semalam. Beliau mengingatkan bahwa khidmat kita sebagai partai ada tiga level : charity, empowering dan advokasi.
Nah domain AD adalah advokasi. Karena pekerjaan charity itu bisa dilakukan siapa saja, tidak harus dewan. Sementara kemampuan advokasi itu yang bisa melakukan sedikit, yang paling utama adalah AD. Untuk melakukan advokasi kebijakan, anggaran dan hukum.
Saya berharap, paska Legislator Summit PKS tahun 2016 ini kita sebagai partai bisa membangun sinergi yang lebih strategis, antara anggota dewan dengan struktur dan kader serta rakyat. Bahwa peran anggota dewan adalah pembela dan bukan pemberi.
Selamat mengikuti Legislator Summit PKS 2016 bagi 1200 anggota dewan PKS se-Indonesia. Semoga kita benar-benar bisa menjadi pelayan untuk berkhidmat bagi rakyat Indonesia.[]
*H. Setiya Fraksi PKS Bantul, Waki ketua komisi B DPRD Bantul