Tanah negara, kata-kata akhir-akhir ini seringkali dikeluarkan oleh Gubernur DKI Jakarta. Intensitas Tanah Negara dari mulut Ahok, semakin gencar seiring dengan maraknya kebijakan gusur pindah Ahok dalam mengatasi persoalan pemukiman kumuh di Jakarta. Tanah negara merupakan label yang begitu kuat, sehingga mendudukan para pemukim yang telah puluhan tahun tinggal di daerah tersebut sebagai tertuduh.
Propaganda retoris Tanah Negara Ahok tidak hanya dimaksudkan untuk memberikan legitimasi hukum bagi kebijakannya, namun juga memberikan legitimasi moral.
Legitimasi moral Ahok didasarkan pada kebijakan Rumah Susun bebas Iuran 3 bulan sebagai bagian dari propaganda dengan menunjukan bahwa betapa murah hatinya Ahok dengan telah menyediakan fasilitas Rusun. Jika dieksplisitkan dengan gaya Ahok, legitimasi moral kebijakan Ahok akan berbunyi seperti ini "dasar nggak tau diuntung udah illegal juga banyak maunya, masih mending gw kasih rusun".
Bagi orang hukum, atau orang yang pernah belajar Hukum Agraria. Pemahaman Ahok tentang Tanah Negara adalah 1000 persen benar, tapi hanya jika Ahok adalah Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada jaman kolonial ketika Agrarisch Wet/Besluit 1870 (AB 1870) berlaku.
Pada AB 1870 terdapat Pasal 1 yang dikenal dengan pasal Domein Verklaring (pernyaataan kepemilikan (negara)). Konsep Domein Verklaring menyatakan, bahwa bagi penduduk yang tidak dapat membuktikan kepemilikannya maka tanah tersebut adalah milik negara.
Saya bisa membayangkan Van Mook (Gubernur Hindia Belanda Terakhir) akan menggunakan retorika yang sama dengan Ahok ketika ingin merampok tanah rakyat untuk kepentingan "pembangunan" kolonial, yang seringkali tanahnya jatuh untuk kepentingan perkebunan atau aktivitas ekonomi orang-orang Belanda, dimana penduduk logal di”berdayakan”, sebagai tukang petik, babu, atau nyai penghibur dikala pembesar Belanda kesepian. Dalam bahasa Prof. Boedi Harsono, Guru Besar Hukum Agraria di universitas Ahok sempat belajar (Universitas Trisakti) Domein Verklaring adalah "sarana" pemerintah Hindia Belanda merampas tanah-tanah rakyat pribumi yang tidak memiliki bukti tertulis karena mereka memiliki tanah turun menurun secara adat dan tidak didaftarkan.
Ahok Bukan Jokowi
Bagi seorang Gubernur Jakarta yang mengaku taat "konstitusi", menggunakan konsep Domein Verklaring sebagai justifikasi kebijakannya adalah aib politik yang nista.
Bagaimana mungkin seorang Gubernur di Ibu Kota Republik Indonesia, masih menggunakan konsep pemikiran yang digunakan untuk merampok tanah bangsa Indonesia oleh pemerintah kolonial Belanda.
Mahfum dengan penindasan Domein Verklaring tersebut, Republik Indonesia mengeluarkan UU Nomor 5/1960 yang menggantikan konsep Domein Verklaring menjadi hak menguasai (bukan memiliki) negara. Dalam konsep hak menguasai negara, negara tidak memiliki hak atas tanah. Negara hanya berfungsi untuk (Pasal 2 ayat (1):
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persedian dan pemeliharaan air dan ruang angkasa tersebut;
2. Mennentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan ruang angkasa; dan
3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Pada konstruksi UU Nomor 5/1960 tidak ada satupun kata Tanah Milik negara. Jikapun negara menguasai tanah secara langsung masih harus membuktikannya dengan sertfikat Hak Pakai (Pasal 41 ayat (2) UU 5/1960). Jadi wajar jika Ahok mengatakan bahwa tanah yang akan digusur sebagai tanah negara, maka ada warga yang meminta Ahok membuktikan sertifikat hak pakai yang dimilikinya.
Namun demikian, jikapun negara tidak memiliki sertifikat bukan berarti negara tidak berhak mengatur peruntukan dan penggunaan tanah tersebut. Misal, jika dinyatakan bahwa suatu bidang tanah tersebut oleh negara masuk ke dalam kawasan RTH atau bantaran sungai, negara memiliki hak untuk melakukan penataan sehingga fungsi kepentingan umum tetap terjaga di atas kepentingan pribadi (hak milik).
Persoalan dari penataan yang dilakukan Ahok adalah, dia mengabaikan prinsip-prinsip yang dituangkan di dalam UU 5/1960. Kebijakan Gusur dan Pindah, bukanlah merupakan kebijakan yang berkeadilan, karena satu argumen penting yang menjadi dasar bagi keadilan agraria yang ada di dalam Pasal 24 ayat (2) PP 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah.
Pasal tersebut menyebutkan bahwa penguasaan fisik bidang tanah selama 20 (dua puluh) tahun secara berturut-turut dengan itikad baik secara terbuka, tanpa dipersoalkan oleh masyarakat hukum atau desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lainnya dapat didaftarkan hak-hak atas tanahnya sehingga argumen pemukim "illegal" di tanah "negara" menurut Ahok tidaklah valid.
Justru mereka yang telah menguasai tanah tersebut dengan iktikad baik, mencari penghasilan dan berkehidupan betapa minimnya harus tetap dihargai dan dinilai.
Berbeda dengan Ahok, Jokowi tampaknya memiliki pemahaman mendalam tentang konsep hak menguasai negara. Hal ini tercermin dari konsep kampung deret, dimana relokasi sedapat mungkin dihindarkan dan pemukim "illegal" ditata dan dilegitimasi kepemilikannya. Konsep kampung deret ditolak oleh Ahok, persis karena Ahok menganut paham domein verklaring, dengan menyatakan bahwa tanah yang tidak bersertifikat adalah tanah negara.
Padahal kampung deret merupakan visi besar Jokowi yang khas, untuk melakukan penataan kampug-kampung kumuh dengan tidak memindahkan mereka ke rumah-rumah susun, sehingga mempertahankan kekhasan kampung Jakarta sekaligus menghargai hubungan batin antara tanah dan lingkungan dimana mereka telah tinggal berpuluh-puluh tahun lamanya.
Sumber/Penulis: RMOL.CO / Giri Taufik
Penulis adalah peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia.